Agustus 24, 2025
WhatsApp Image 2025-08-07 at 11.22.11

Bharindo Gorontalo,- Polemik Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo kian menuai sorotan. Keluhan demi keluhan dari Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait ketimpangan, ketidakadilan, dan indikasi subjektivitas dalam pemberian TPP kini mulai disikapi oleh DPRD Provinsi Gorontalo, khususnya Komisi I.

Sejumlah ASN menyuarakan keluhan mereka kepada DPRD terkait pemotongan TPP yang dinilai tak adil, salah satunya dikarenakan tidak mempublikasikan konten atau informasi Pemerintah Provinsi di akun media sosial pribadi. Tak hanya itu, banyak pula yang mengeluhkan besaran TPP yang dinilai timpang dan tak mencerminkan prinsip keadilan serta rasionalitas beban kerja.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo, Umar Karim, menyatakan bahwa guna menyikapi hal tersebut pihaknya akan memanggil pihak Pemerintah Provinsi untuk meminta penjelasan resmi terkait sistem pemberian TPP. Pemanggilan itu dijadwalkan akan dilaksanakan pada Senin, 11 Agustus 2025.

“Permasalahan yang kami terima bukan sekadar pemotongan akibat tidak memposting kegiatan Pemprov, tapi juga soal kesenjangan nilai TPP yang diterima ASN. Ada ketimpangan yang mencolok antara pejabat dan staf, padahal prinsip keadilan seharusnya menjadi rujukan utama,” tegas Umar Karim kepada media Kamis, 7 Agustus 2025.

Umar juga menyoroti lonjakan anggaran TPP dalam APBD Provinsi Gorontalo. Jika tahun 2023 tercatat sebesar Rp159 miliar, maka pada tahun 2025 melonjak drastis menjadi Rp322 miliar. Meskipun sebagian mencakup Tunjangan Profesi Guru (TPG), namun menurutnya jumlah tersebut tetap tergolong sangat besar.

“Dengan anggaran sebesar itu, seharusnya manfaatnya bisa dirasakan lebih merata oleh ASN, bukan hanya menumpuk di kalangan pejabat tertentu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Umar menjelaskan bahwa dalam ketentuan Pergub, TPP ASN terbagi ke dalam enam kategori: berdasarkan beban kerja, prestasi kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, dan pertimbangan objektif lainnya. Namun sayangnya, dalam pelaksanaannya, banyak ASN menilai bahwa kriteria tersebut tidak dijalankan secara transparan dan konsisten.

“Contohnya TPP berdasarkan kondisi kerja yang seharusnya menyasar ASN dengan risiko tinggi seperti Satpol PP, Damkar, petugas LLAJ, atau petugas lingkungan hidup, pekerja medis rentan. Tapi justru yang menerima malah mereka yang kerja di balik meja. Ini kan keliru,” sindir politisi yang akrab disapa UK itu.

Ia juga menyoroti Keputusan Gubernur terkait penerima TPP yang secara gamblang mencantumkan nama-nama ASN, yang menurutnya mengesankan pendekatan yang terlalu personal dan rawan subjektivitas.

“Kalau dasar penetapan penerima TPP hanya berbasis nama-nama, tanpa parameter yang jelas, ini sudah sangat bermasalah. Bisa jadi ada intervensi atau unsur kedekatan,” tambahnya.

Ironisnya, di sisi lain, Sejumlah OPD Pemerintah Provinsi Gorontalo kerap mengeluhkan keterbatasan anggaran dalam membiayai berbagai program dan kegiatannya, khususnya yang menyentuh kepentingan dan kebutuhan langsung masyarakat. Beberapa OPD bahkan disebut mengalami stagnasi program karena nihil dukungan anggaran. Pemerintah daerah tampak kesulitan menutup kebutuhan belanja publik, padahal dalam waktu yang sama, ratusan miliar rupiah terkuras hanya untuk belanja TPP, yang sebagian besar justru kurang tepat sasaran.

“Ini yang membuat publik jadi bingung. Pemerintah bilang tak ada anggaran untuk pelayanan masyarakat, tapi bisa habis ratusan miliar hanya untuk tunjangan. Di mana letak prioritas anggaran kita?” ujarnya.

Komisi I DPRD pun menegaskan komitmennya untuk melakukan langkah evaluatif. Jika Pemprov Gorontalo tak mampu membuktikan bahwa sistem pemberian TPP saat ini telah objektif dan berkeadilan, maka DPRD siap merekomendasikan penataan ulang skema TPP secara menyeluruh.

“Komisi I akan mendorong agar pemberian TPP benar-benar memberi ruang adil bagi seluruh ASN, terutama mereka yang bekerja di lapangan dengan risiko tinggi dan beban kerja berat. Jangan sampai TPP justru menjadi alat kontrol birokrasi yang menyimpang dari tujuan awalnya,” pungkas UK. (nnts***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *