
Editorial Redaksi.
Merujuk Isi Rancangan Awal RPJMD Kabgor Tahun 2025-2029.
Bharindo Kab.Gorontalo. Kamis, 17 Juli 2025, bertempat di Kawasan Wisata Bukit Proja Desa Pone Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo, menjadi awal pembahasan intens atas dokumen Rancangan Awal RPJMD Kabupaten Gorontalo Tahun 2025-2029 tengah berjalan. Panitia Khusus (Pansus) RPJMD Kabupaten Gorontalo Tahun 2025-2029 DPRD Kabupaten Gorontalo yang dipimpin Aleg Fraksi Persatuan Pembangunan Jayusdi Rivai sedang mengkaji substansi dokumen rencana pembangunan jangka menengah daerah pemerintahan Bupati Sofyan Puhi, ST dan Wakil Bupati Tony S. Junus atau yang diistilahkan Pemerintahan “ST12”. Pemerintahan yang mengusung gagasan besar yakni “Restorasi Kabupaten Gorontalo Berkemaajuan dan Berkelanjutan”. Rapat pembahasan yang bukan hanya sebagai forum teknis pengesahan dokumen, tetapi juga sebagai arena pertarungan gagasan, keberpihakan, dan keberanian legislatif dalam menegaskan agenda pembangunan yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Rancangan awal RPJMD ini merupakan cetak biru (Blue Print) dokumen resmi pemerintahan “ST12” yang hendak mencapai Visinya melalui tiga misi utama yakni:
1. Membangun Sumber Daya yang Beragama, Berbudaya, Unggul, dan Kompetitif;
2. Mentransformasi Ekonomi Kerakyatan Berbasis Teknologi Berorientasi Nilai Tambah dan Berkelanjutan;
3. Melaksanakan Reformasi Tata Kelola Pemerintahan yang Baik;
Dokumen yang menjadi peta jalan pembangunan daerah ini akan menentukan arah kehidupan 423,981 penduduk Kabupaten Gorontalo yang tersebar di 19 Kecamatan 206 Desa dan Kelurahan untuk periode perencanaan pembangunan lima tahun ke depan. Dokumen ini menjadi arah pijak pengambilan kebijakan, tolok ukur kinerja pemerintah daerah, dan janji politik yang dibakukan dalam rencana aksi jangka menengah. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dan pendekatan yang digunakan dalam penyusunannya tidak boleh dipandang sekadar formalitas administratif, melainkan harus diuji secara substantif: Apakah sudah benar-benar menjawab kebutuhan rakyat?
Dalam draf rancangan awal RPJMD Kabupaten Gorontalo, prinsip tata kelola pemerintahan yang baik transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, partisipasi, keadilan, keberlanjutan telah disebutkan rapi dan tersusun secara normatif. Namun, kita patut bertanya: bagaimana prinsip-prinsip itu diterjemahkan secara nyata dalam proses perencanaan yang tengah berjalan? Sejauh mana masyarakat diberi ruang untuk terlibat aktif, bukan sekadar simbolik hadir dalam forum Musrenbang yang berjenjang, Apakah pendekatan partisipatif benar-benar menjangkau kepentingan masyarakat akar rumput di desa dan dusun?
Di balik bahasa indah dan narasi strategis yang terbingkai rapi dalam Rancangan Awal RPJMD 2025–2029, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana “restorasi” itu benar-benar berakar pada realitas masyarakat dan bukan sekadar bahasa pengganti jargon atau istilah pemanis kata.
Istilah restorasi umumnya dimaknai sebagai proses pemulihan terhadap kondisi yang rusak, terdistorsi (penyimpangan makna), atau keluar dari keadaan ideal. Pertanyaannya, kondisi seperti apa yang coba dipulihkan oleh Pemerintahan “ST12” dalam semangan Restorasinya? Apakah yang dimaksud adalah ketertinggalan ekonomi, penurunan daya saing, merosotnya kualitas layanan publik, atau melemahnya tata kelola birokrasi?
Dalam dokumen RPJMD, tidak ditemukan penjabaran eksplisit mengenai apa yang rusak, siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan itu, dan bagaimana pendekatan pemulihannya akan dilakukan. Padahal, narasi restorasi menuntut bacaan kritis atas masa lalu sebagai dasar menuju masa depan.
Visi pembangunan yang dirumuskan memang terdengar menjanjikan: “Mewujudkan Kabupaten Gorontalo yang Berkemaajuan dan Berkelanjutan melalui Restorasi Tata Kelola, Ekonomi Rakyat, dan Pelayanan Publik.” Namun saat dibandingkan dengan problematika factual seperti lambatnya layanan birokrasi, menurunnya pendapatan asli daerah (PAD), dan belanja pegawai yang mendominasi APBD, memunculkan keraguan apakah fondasi restorasi ini cukup kuat untuk menopang seluruh agenda pembangunan.
Undang-undang, mengamanatkan empat pendekatan teknis perencanaan yaitu teknokratis (keahlian teknis), partisipatif (pelibatan peran serta), politis, serta top-down dan bottom-up (aspirasi), juga disebut telah menjadi pijakan. Namun, sejarah perencanaan di daerah kerap didominasi elit teknokrat dan birokrat. Pendekatan teknokrat memang menjanjikan rasionalitas, tetapi kerap alpa terhadap realitas sosial. Pendekatan politis semestinya menjadi saluran demokratisasi penyeimbang program kerja kepala daerah, namun bisa saja berubah menjadi putusan politis golongan alih-alih prioritas publik.
Editorial ini menilai bahwa penerapan pendekatan partisipatif harus diawasi dan dievaluasi secara transparan. Jangan sampai prinsip kesetaraan hanya menjadi kutipan retorika dalam dokumen, sementara kelompok rentan, pemuda desa, dan pelaku usaha lokal tidak benar-benar terakomodir dalam penyusunan strategi dan prioritas program. Sama halnya, sinkronisasi (keselarasan) antara dokumen RPJMD dengan dokumen lainnya seperti RPJPD, RTRW, Renstra OPD, dan RPJMN harus dimaknai sebagai instrumen harmonisasi substantif, bukan sekadar formalitas.
Penting untuk diingat, RPJMD bukan sekadar kumpulan tabel, visi-misi, atau janji manis kampanye yang diformalkan menjadi dokumen. RPJMD adalah kontrak sosial antara kepala daerah dengan rakyatnya. Maka, membaca dan mengkritisi RPJMD bukan semata urusan birokrasi atau legislasi, tetapi bagian dari kewaspadaan demokrasi. Kami merasa perlu mengangkat ini secara berseri, untuk memastikan bahwa janji lima tahun tidak sekadar menjadi formalitas lima tahunan.
Melalui seri editorial ini, kami mengajak pembaca, pengambil kebijakan, hingga masyarakat sipil untuk ikut menyelami isi dan ruh RPJMD Kabupaten Gorontalo 2025–2029. Dari potret geografis dan tantangan dasar daerah, kondisi sosial-ekonomi yang membelit, indeks pembangunan manusia yang stagnan, hingga persoalan anggaran, infrastruktur, pelayanan dasar, krisis lingkungan, dan akuntabilitas politik pembangunan semuanya akan diulas kritis dan bertanggung jawab.
Editorial ini adalah bagian dari menghadirkan kontrol publik berbasis data yang dituangkan kedalam dokumen setebal 249 halaman bernama RPJMD Kabupaten Gorontalo Tahun 2025-2029. sehingganya tidak layak jika dibiarkan lewat tanpa ditafsirkan secara tajam dan terbuka. Jika RPJMD adalah peta, maka rakyat berhak tahu ke mana mereka sedang diarahkan.
Seri ini tidak ditujukan untuk mencela atau menjatuhkan. ditulis untuk mengingatkan janji, dan menyalakan lentera atau nyala diskusi kebijakan agar RPJMD benar-benar menjadi dokumen hidup bukan hanya indah dalam penyusunan, tetapi juga benar benar ada dalam pelaksanaan. Karena lima tahun bukan waktu yang singkat untuk membiarkan harapan rakyat hanya menjadi catatan birokrasi.
Bersambung Seri-2 : “RPJMD Kabgor, Antara Target Capaian Indikatif dan Realita Statistik.”