Mei 10, 2025
WhatsApp Image 2025-04-30 at 23.19.16

Bharindo Gorontalo,- Editorial : Setiap 1 Mei, jalanan dipenuhi suara buruh yang menuntut keadilan. Tapi setelah spanduk dilipat dan orasi dibubarkan, kondisi tak banyak berubah. Masalah buruh di Indonesia seperti kaset rusak yang diputar ulang setiap tahun upah murah, kerja kontrak, outsourcing, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap buruh dan pekerja.

Relasi antara buruh dan perusahaan masih dominan subordinatif. Buruh dipandang sebagai biaya yang harus ditekan, bukan sebagai penggerak utama produktivitas. Dalam logika bisnis semacam ini, kesejahteraan buruh dianggap bukan prioritas, bahkan sering kali dianggap pengganggu efisiensi.

Sistem kerja kontrak dan outsourcing dilegalkan demi fleksibilitas industri. Tapi yang terjadi justru pembiaran terhadap ketidakpastian kerja, hilangnya jaminan sosial, dan minimnya daya tawar buruh. Perusahaan bisa melepas tanggung jawab dengan mudah, sementara buruh hidup dalam bayang-bayang PHK sewaktu-waktu.

Di lapangan, produktivitas buruh meningkat, tapi kenaikan upah jalan di tempat. Banyak buruh hidup dalam kondisi rentan: gaji pas-pasan, jam kerja panjang, dan minim perlindungan. Ironisnya, perusahaan yang mempekerjakan mereka terus membukukan keuntungan sering kali difasilitasi negara melalui insentif dan keringanan pajak.

Masalah ini bukan semata ekonomi, tapi politik. Keberpihakan pemerintah terhadap buruh masih lemah. Undang-undang seperti UU Cipta Kerja justru memperparah posisi buruh, memberi ruang lebih besar bagi fleksibilitas kerja tanpa jaminan perlindungan yang setara. Negara seolah hadir sebagai fasilitator kepentingan bisnis, bukan penyeimbang kekuatan antara kapital dan tenaga kerja.

Padahal, sejarah menunjukkan: buruh yang sejahtera bukan penghambat pertumbuhan, justru penopang stabilitas ekonomi jangka panjang. Negara-negara maju menjaga keseimbangan ini lewat regulasi ketat, serikat buruh yang kuat, dan sistem jaminan sosial yang solid. Indonesia masih jauh dari itu.

Momentum Hari Buruh seharusnya tidak berhenti di seremoni tahunan. Ini seharusnya jadi pengingat bahwa keadilan sosial di tempat kerja adalah fondasi kemajuan. Buruh bukan sekadar tangan produksi, tapi manusia yang layak hidup dengan martabat. Tanpa keberpihakan nyata dari negara, suara buruh akan terus bergema di jalanan namun hilang dalam kebijakan. (nnts***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *